Nggak tahu kenapa, beberapa tahun terakhir arus besar kesadaran perusahaan untuk semakin “spiritual”—dengan peduli kepada masyarakat tertindas, peduli ke lingkungan, atau peka terhadap persoalan sosial-kemasyarakatan—kian besar. GE getol melipatgandakan penggunaan clean technology; Toyota fokus mengembangkan Prius sebagai the world’s cleanest car untuk mengurangi global warming; Grameen Bank mengembangkan micro finance untuk kaum papa hingga berbuah Hadiah Nobel; Hindustan Lever, anak perusahaan Unilever di India, mengembangkan segmen pasar orang miskin (bottom of the pyramid market) sekaligus memberdayakannya.
Mungkin karena bumi kita sudah terlanjur kerempeng dan bopeng-bopeng. Atau karena kalangan bisnis sudah terlalu lama mengesampingkan kaum papa. Atau bisa jadi karena kaum pebisnis ini sudah bertobat karena keterlaluan mengeksploitasi isi perut bumi atas nama kapitalisme membabi-buta. Dupont misalnya, kini mulai “bertobat” karena sudah puluhan tahun mengotori bumi dengan bahan-bahan kimia ciptaannya. Sejak tahun 1991, Dupont sangat serius mengurangi emisi gas buang sebesar 55% dan menghemat hingga 2 miliar dolar.
Karena kenyataan itu, bukan kebetulan kalau kini mulai banyak perusahaan yang mengadopsi konsep “triple bottom line”. Apa itu? Konsep pengukuran kinerja perusahaan secara “holistik” dengan memasukan tak hanya ukuran kinerja ekonomis berupa perolehan profit, tapi juga ukuran kepedulian sosial dan pelestarian lingkungan. Kenapa “triple”? Karena konsep ini memasukkan tiga ukuran kinerja sekaligus: economic, environmental, social (EES) atau istilah keren-nya 3P: “People-Planet-Profit”. Maunya jelas, perusahaan tak hanya menjadi “economic animal”, tapi juga entitas yang “socially and environmetally responsible.”