Diskusi Buku “Life Science for a Better Life”

Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas yang tak tertandingi oleh negara manapun di dunia. Dengan sekitar 17.000 jumlah pulau dan 2/3 dari seluruh wilayah merupakan perairan, negeri ini memiliki sekitar 10% spesies tanaman, 12% spesies mamalia, dan 15% terumbu karang yang dimiliki dunia. Indonesia is the mega biodiversity country. Namun sayang, di tengah kekayaan yang luar biasa … Baca Selengkapnya

“Values Report”-nya The Body Shop

Khusus untuk Bu Lanny, Miracle Clinic, berikut ini saya posting dokumen Pdf mengenai “Values Report” nya The Body Shop. Ini semacam “annual report” yang dikeluarkan manajemen The Body Shop sebagai bentuk pertanggung jawaban ke publik mengenai sejauh mana pencapaian “kinerja” Triple Bottom Line selama setahun. Jadi The Body Shop tak hanya mengeluarkan laporan keuangan untuk … Baca Selengkapnya

Triple Bottom Line

Nggak tahu kenapa, beberapa tahun terakhir arus besar kesadaran perusahaan untuk semakin “spiritual”—dengan peduli kepada masyarakat tertindas, peduli ke lingkungan, atau peka terhadap persoalan sosial-kemasyarakatan—kian besar. GE getol melipatgandakan penggunaan clean technology; Toyota fokus mengembangkan Prius sebagai the world’s cleanest car untuk mengurangi global warming; Grameen Bank mengembangkan micro finance untuk kaum papa hingga berbuah Hadiah Nobel; Hindustan Lever, anak perusahaan Unilever di India, mengembangkan segmen pasar orang miskin (bottom of the pyramid market) sekaligus memberdayakannya.

Mungkin karena bumi kita sudah terlanjur kerempeng dan bopeng-bopeng. Atau karena kalangan bisnis sudah terlalu lama mengesampingkan kaum papa. Atau bisa jadi karena kaum pebisnis ini sudah bertobat karena keterlaluan mengeksploitasi isi perut bumi atas nama kapitalisme membabi-buta. Dupont misalnya, kini mulai “bertobat” karena sudah puluhan tahun mengotori bumi dengan bahan-bahan kimia ciptaannya. Sejak tahun 1991, Dupont sangat serius mengurangi emisi gas buang sebesar 55% dan menghemat hingga 2 miliar dolar.

Karena kenyataan itu, bukan kebetulan kalau kini mulai banyak perusahaan yang mengadopsi konsep “triple bottom line”. Apa itu? Konsep pengukuran kinerja perusahaan secara “holistik” dengan memasukan tak hanya ukuran kinerja ekonomis berupa perolehan profit, tapi juga ukuran kepedulian sosial dan pelestarian lingkungan. Kenapa “triple”? Karena konsep ini memasukkan tiga ukuran kinerja sekaligus: economic, environmental, social (EES) atau istilah keren-nya 3P: “People-Planet-Profit”. Maunya jelas, perusahaan tak hanya menjadi “economic animal”, tapi juga entitas yang “socially and environmetally responsible.”

Baca Selengkapnya

Social Entrepreneur

Menurut saya Tri Mumpuni Wiyanti lebih hebat dari Dr Mohammad Yunus, pendiri Grameen Bank dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian tahun lalu!!!

Dengan keuletan dan kemandirian, sosok wanita perkasa ini merintis pembangkit listrik bertenaga air (mikrohidro) untuk menerangi berbagai desa di tanah air. Ia hebat karena tak sepeserpen ia minta duit pemerintah untuk menjalankan misinya. Selama ini ia menggunakan dana donor melalui kedutaan atau dari beberapa perusahaan dalam skema tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility).

Ia hebat karena listrik mikrohidro yang dibangunnya ramah lingkungan karena tidak menggunakan bahan bakar fosil. Artinya, tidak menambah jumlah gas karbon dioksida ke atmosfer yang memperburuk efek rumah kaca penyebab naiknya suhu muka Bumi secara global. Bahkan, agar pembangkit listrik tenaga airnya mampu berfungsi terus-menerus sepanjang tahun, setidaknya daerah tangkapan air di hulu harus dipertahankan seluas 30 kilometer persegi. Artinya, tidak ada penebangan hutan atau penggundulan vegetasi.

Baca Selengkapnya

CSR dan Keunggulan Bersaing

* Berikut ini artikel saya di Majalah Warta Ekonomi Oktober 2003. Di sini saya berpendapta bahwa CSR seharusnya tak hanya menjadi “aksi buang duit” tapi harus ditempatkan di jantung stratei perusahaan.

Dalam sebuah acara Indonesia Marketing Association (IMA) di Jawa Timur beberapa waktu lalu, saya bersama Pak Junardy, Ketua Umum IMA Pusat sekaligus Komisaris Bentoel menyempatkan diri untuk menonton pertandingan sepak bola Arema Malang melawan PSIS Semarang di stadion Gajayana Malang. Di sela-sela menikmati tontonan ini, kebetulan kami banyak ngobrol tentang bagaimana ia mengelola klub kebanggaan arek Malang ini dan apa arti pentingnya bagi daya saing Bentoel. Satu hal yang menarik perhatian saya adalah totalitas dan keseriusannya dalam menempatkan upaya-upaya corporate responsibility semacam ini di pusat kebijakan stratejik Bentoel. Karena stratejiknya, kegiatan ini kemudian tak hanya menjadi program teknis dari divisi public relation, tapi langsung dalam kendali CEO.

Di samping mengelola Arema, selama ini Bentoel juga terlibat dalam berbagai upaya community development di kota yang menjadi headquarter-nya yaitu Malang. Lingkup kegiatannya sangat luas mulai dari membantu pembangunan infrastruktur, layanan poliklinik, mengelola obyek wisata publik, mendukung program-program Pemda, dan lain-lain. Dan menariknya, Bentoel melihat masyarakat Malang dan Jawa Timur secara luas sebagai salah satu stakeholder utamanya. Karena merupakan stakeholder utama, Bentoel kata Pak Jun, punya tanggung-jawab penuh untuk memuaskannya melalui berbagai kegiatan community development tersebut.

Cerita Pak Junardy mengingatkan saya pada satu tulisan di Harvard Business Review yang memperoleh McKinsey Award, ditulis oleh Michael Porter akhir tahun lalu. Tulisan ini menarik karena mencoba mengulas kaitan antara kegiatan–kegiatan filantropi dan corporate responsibility dengan keunggulan bersaing perusahaan. Menarik sekali kesimpulan Porter, bahwa kegiatan filantropi seperti yang dilakukan Bentoel di atas merupakan sumber keunggulan bersaing yang sangat dan semakin penting bagi perusahaan.

Baca Selengkapnya